Tak Mudah Jadi Cheerleader Pria

Bowo Laksono
4 min readOct 16, 2018

--

Aktivitas olahraga tentunya sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang, tapi apa jadinya jika olahraga yang digeluti ternyata bukan olahraga yang lazim dilakukan oleh seseorang berdasarkan gendernya? Contonya gue. Bagi yang belum mengenal gue, mereka pasti enggak akan menyangka kalau gue ini seorang atlet cheerleader. Memang, dari dulu tim cheerleader atau pemandu sorak umumnya lebih banyak dilakukan wanita sebagai tim penyemangat pada pertandingan olahraga seperti baseket, voli, atau American footbal. Namun, menurut sejarah cheerleading, dulunya olahraga ini justru digawangi pria.

Ketertarikan gue di dunia cheerleading dimulai ketika gue kelas 2 SMA karena gue menonton film tentang cheerleader Amerika yang berjudul Bring It On. Pun dari zaman masih di sekolah dasar, gue memang punya ketertarikan di bidang seni tari. Waktu masih SMP juga gue pernah ikut eskul modern dance.

Tahun 2009, gue bergabung dengan tim cheerleader di SMA gue. Banyak kritik dan cemoohan dari berbagai kalangan yang gue dapat saat bergabung dengan tim ini, tapi gue tetap melanjutkan misi gue untuk jadi cheerleader. Gue bergabung dengan tim cheerleader sekolah yang bernama Eleven Cheerleading Squad (ELC), sekarang tim ini sudah berubah nama menjadi Blaster sejak 2010. Anyway, kini gue adalah palatih dari tim yang sudah berjalan hampir 9 tahun ini.

Dari awal gue bergabung di tim ini, gue udah jadi cemoohan teman-teman laki-laki yang berpikiran sempit mulai dari dikatain banci, bencong, ganti kelamin, dan sebagainya. Tidak sedikit pula teman-teman gue yang berpikiran lebih maju baik itu teman laki-laki atau teman perempuan yang mendukung gue. Gue selalu berpikir seperti ini:

Tugas pertama jadi tim cheerleader sekolah ialah tampil di acara ulang tahun dan pensi sekolah. Alhamdulillah sukses. Banyak juga dari teman-teman laki-laki yang awal mengejek akhirnya memberi salut dan ucapan selamat.

Tugas kedua yaitu ikut lomba pentas seni pelajar se-DKI Jakarta di TMII. Awalnya kami enggak percaya diri ikut lomba ini karena pasti lawannya akan lebih bagus dan hebat dengan bimbingan pelatih. Jujur saja, di tim ini kami melakukan segala tekniknya sendiri tanpa bimbingan pelatih dan saat itu kapten tim sekaligus pelatihnya ialah gue yang hanya mengandalkan ilmu-ilmu cheerleading sekadarnya dari internet. Syukur alhamdulillah, meskipun teknik kami masih seadanya, tapi kami berhasil menang juara 2.

Tahun 2010, gue diajak untuk ikut komunitas cheerleading di daerah Buaran, Jakarta Timur — The A Team Cheerleading. Gue mengikuti audisi tim cheerleading umum bernama DreamSquad. Saat itu gue punya tujuaan supaya ilmu yang gue dapat di sana bisa gue aplikasikan ke teman-teman gue di sekolah. Gue lolos audisi dan sempat bergabung hanya lima bulan, alasannya karena saat itu sudah mau UN dan orang tua tidak mengizinkan. Padahal, gue yakin 100% dengan kemampuan gue bahwa segala kegiatan gue enggak akan mengganggu nilai-nilai gue, justru itu sebagai penyeimbang antara belajar dan olahraga.

Sempat vakum selama satu tahun dari dunia cheerleading, tahun 2011 bulan Mei, gue sempat dapat tawaran untuk mengikuti trial dan audisi tim all stars yaitu Dreams All Stars. Di tim ini kami belajar teknik yang benar, pemanasan yang benar untuk meminimalisasi risiko cedera olahraga dan kecelakaan olahraga. Stamina tubuh yang prima didukung dengan attitude yang baik juga sangat diperlukan untuk bisa berada di tim ini.

Latihan fisik dan teknik dalam olahraga ini kadang menjadi hal-hal yang tidak pernah dibayangkan orang-orang yang tidak mengetahui olahraga cheerleading. Seperti membuat stunting (mengangkat orang), pyramid (membuat pola tumpukan manusia), dan basket toss (melakukan atraksi melempar orang ke udara). Atraksi dan kemampuan seperti ini sangat membutuhkan kehadiran pemain laki-laki untuk memperkuat tim.

Satu tahun belajar dan berkarya di Dreams All Stars (DAS), di tahun 2012 bulan Maret, kami mendapatkan kesempatan dan rezeki untuk mengikuti lomba bertaraf internasional se-Asia Tenggara di Singapore. Kami menghadapi kurang lebih 10 negara ASEAN. Alhamdulillah, di ajang ini kamilah perwakilan Indonesia yang berhasil memboyong juara pertama level 6 Coed Premiere.

Selain menjadi seorang atlet, kami pun sering mendapat tawaran menjadi talent acara-acara di stasuin televisi swasta. Kadang, setelah gue muncul sebagai pengisi acara di stasiun televisi tersebut, beberapa teman gue mengubungi gue melalui aplikasi chating yang ada di ponsel untuk memberikan apresiasi.

Pada akhirnya gue sangat bersyukur bahwa gue bisa menjadi seorang cheerleader, karena berkat cheerleader ini untuk pertama kalinya gue bisa punya pengalaman jalan-jalan keluar negeri dan bisa memiliki penghasilan sendiri di usia gue yang saat itu masih 18 tahun.

Semoga tulisan ini bisa membuka pikiran teman-teman pembaca, generasi muda, dan orang tua mengenai konsep olahraga cheerleader, dan mengubah pandangan teman-teman terhadap para cheerleader pria.

--

--

Bowo Laksono
Bowo Laksono

Written by Bowo Laksono

Mahasiswa Magister Lingusitik Terapan Prodi Linguistik Forensik || Kunjungi LinkedIn laman saya di: https://www.linkedin.com/bowolaksono/

No responses yet